Senin, 21 Juli 2008

Eksistensi Budaya

Oleh Ahmadi Addy S

Bangsa Indonesia memiliki budaya yang khas. Asimilasi unik budaya penduduk Yunan Selatan dengan "kreasi alam" serta masuknya agama dari Asia Barat dan Timur Tengah telah memberikan suatu warna. Sebagai sebuah peradaban baru, disinyalir muncul baru 400 tahun SM memang sangatlah muda dibanding kebudayaan lain di muka bumi namun memiliki karakter yang kuat. Pembeda eksistensi sebuah nation di muka bumi ini. Selain unik juga kaya ragam budaya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Tak ada bantahan untuk fakta ini. Kalau boleh berbangga maka tak ada negara seunik dan sekaya Indonesia dalam budaya.

Maka tak salah para komposer negeri ini begitu bersemangat membuat alunan nada dari Ismail Marzuki dengan "Indonesia Tanah Pusaka" hingga Gesang dengan Bengawan Solo-nya begitu jelas menampakkan kekayaan itu. Ratusan bahkan ribuan ilmuwan dunia berbondong menjadi "penikmat" dan jutaan turis manca negara menjadi saksi.

Seiring derasnya arus informasi dan gencarnya penetrasi budaya asing maka bangsa ini terus "didatangi" budaya-budaya asing. Sifat dasar penduduk pribumi yang ramah dan terbuka inilah yang menjadikannya lahan subur bagi budaya-budaya asing. Sejarah telah mencatat budaya kita yang ada sekarangpun merupakan "perkawinan" materi-materi budaya dari seluruh pelosok dunia. Dan indahnya para pendahulu nusantara secara santun dan cantik menampilkannya menjadi budaya khas Indonesia. Bukan penjiplakan. Anda tentu bisa menyebutkannya bukan? Konsekuensi logis dari sebuah "persinggungan" bangsa ini dengan bangsa lain.

Sebuah pertanyaan sederhana diajukan, apakah kita perlu melestarikan budaya kita? Untuk apa ketoprak, lenong, tari piring, reog, batik, tari saman harus tetap ada? Gotong-royong, musyawarah mufakat harus tetap ada? Toh jaman telah bergeser, budaya saling bersinggungan melakukan perkawinan, melahirkan budaya baru. Sekuat apa kita menentang "kehendak" jaman.

Karakter bangsa ini lambat laun berubah, individualisme, liberalisme dan -isme yang lain seperti telah menjadi "ruh" baru dalam tatanan masyarakat kita. Kepedulian menjadi sempit, toleransi menjadi kebablasan, individu menjadi dewa atas kelompok, kebebasan dan perbedaan menjadi alasan pembenaran dan lain-lain sampai-sampai kita menjadi "bule" berkulit gosong. Dan saya berpikir bangsa ini hampir-hampir telah "mati" di makan jaman.

Beruntung kita masih punya segelintir orang yang concern terhadap kebudayaan kita. Kalau sedikit kita saja menyimak dan mau mempelajari budaya kita sebagai contoh kecil kesenian kita, maka sesungguhnya warisan nenek moyang itu memberi banyak pelajaran. Pada masa-masa lampau tidak hanya di negara ini, budaya dalam berbagai wujudnya merupakan perpaduan kedalaman berpikir dan pengalaman sejarah. Sehingga terciptalah karya budaya yang menjadi watak suatu bangsa. Bagaimana dengan budaya sekarang? Musiknya, tarinya, sopan santunnya, tata laku penduduknya?

Setiap hari tontonan kita di televisi atau dalam keseharian masyarakat budaya populis yang dangkal akan pembelajaran semakin mengkhawatirkan. Tak ada parameter nilai yang jelas, yang penting populer. Makanan paling populer, baju paling populer, lagu paling populer, tokoh paling populer.

Karena itu menurut hemat saya eksisitensi budaya dalam segala wujud harus tetap ada untuk membentuk watak atau karakter penduduk bangsa ini yang semakin terkikis. Wujud budaya boleh beda, generasi sekarang boleh berkreasi tetapi ruh budaya kita yang santun dan guyub (kekeluargaan) harus tetap ada. Bangsa kita adalah bangsa yang bermartabat.





Sabtu, 19 Juli 2008

Rabu, 16 Juli 2008

Indonesia Menangis (Bagian Dua)

Oleh Ahmadi Addy Saputra

Bicara kemiskinan di negeri tercinta ini seperti “menggunjing” saudara kita sendiri. Bagaimana tidak hal itu terjadi di negara yang konon katanya kaya raya, “gemah ripah loh jinawe, tata tentrem kerta raharja”. Menjadi menjadi miskin adalah aib. Bahkan bisa dikatakan sebuah “fitnah”. Saya tidak ingin mencoba beromantisme tentang Indonesia masa silam. Jaman kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara dengan segala kekayaan alamya, yang tercium sampai ke daratan Eropa yang akhirnya melahirkan penjajahan.
Faktanya sekarang kita masuk jajaran negara miskin di dunia. Bagaimana bisa sebuah negara yang panjang wilayahnya setara dengan bentangan pantai barat hingga pantai timur Amerika Serikat, 70 % (tujuh puluh persen) keaneka ragaman hayati dunia tinggal di negeri ini, sumber daya manusia yang berlimpah (peringkat empat dunia) dikatakan miskin. Jawabannya adalah sebuah ironi..
Apa yang berbeda? Sungguh menyakitkan jika kita mengetahui bahwa kita tak mampu mengolah begitu melimpahnya sumber daya alam dan manusia kita, sebuah kebodohan penyebabnya. Lebih menyakitkan begitu banyak asset kita yang telah berpindah tangan ke orang asing. Hampir lima puluh persen perbankan kita yang menjadi “lokomotif “ perekonomian bangsa ini, setidaknya menurut pembuat kebijakan bangsa ini sekarang telah menjadi milik asing, beberapa BUMN strategis telah dijual dan “saudara-saudaranya” telah masuk daftar jual, sebuah ketamakan jawabannya.
Seolah bangsa ini tidak menyadari bahwa kita berdiri diatas “gunung emas” atau kita terlalu malas untuk sekedar menyadarinya apalagi mengelolanya. Ini bukan perkara baru, tapi ironinya tak ada “kebangkitan” bangsa ini dari “keterpurukan”, tak ada rasa malu atas keterbelakangan dan menikmati betul “inferioritas” kita terhadap bangsa lain. “Bangsa budak, budak diantara bangsa”, suatu ketika Bung Karno berujar.
Perut bumi kita disedot terus menerus oleh “mesin-mesin asing” yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen pada lingkungan, Indonesia menangis untuk Papua, Indonesia menangis untuk Bangka dan Belitong. Hutan kita dijarah tanpa ampun, kerusakan flora dan fauna yang terus mengancam eksistensi penduduk nusantara. Indonesia menangis untuk Kalimantan, Indonesia menangis untuk Sumatera. Tak ada yang tersisa kecuali kerusakan akibat ketamakan kita. Hanya dengan alasan “secuil devisa” penguasa negeri ini berkomplot dengan pengusaha tengik menggelar “red carpet” untuk menyambut kedatangan para “investor” asing komplotan mereka juga. Mereka mengingkari “kebolehan” anak bangsa negeri ini, menafikan “kepintaran” anak-anak bangsa. Penganut “inferiorisme”. Indonesia menangis anak-anak bangsa.
Kemiskinan di Indonesia telah mencapai angka 14 %, atau sekitar 35 juta sampe 40 juta penduduk negeri ini hidup dibawah garis kemiskinan. Anda tahu batas kemiskinan itu bukan? Gizi buruk, kelaparan, pendidikan terabaikan dan lain-lain. Kemiskinan dan kebodohan adalah ancaman terbesar dan terdekat dari kita. Keduanya begitu tampak nyata dan “menari-nari” di depan mata kita. Lebih nyata dari terorisme dan bencana alam. Agenda terpendek adalah mengentaskan kemiskinan dan kebodohan, jika kita tak mau mati dalam keadaan miskin dan bodoh. Indonesia menangis untuk dirinya.
Bersambung….

Kamis, 03 Juli 2008

ANGGOTA DPR TELANJANG BULAT DI PANGGUNG POLITIK

Oleh Ahmadi Addy Saputra

Tak ada suatu hal yang lebih menyakitkan dibanding sebuah pengkhianatan. Kepercayaan yang diberikan ditumpahkan begitu saja, dilempar ke keranjang sampah kemunafikan. Dan dengan gagahnya mereka melenggang mantap di depan kita..

Jika ada sebuah lembaga pemeringkat untuk para pengkhianat maka saya yakin lembaga Dewan Perwakilan Rakyat masuk dalam lembaga tempat bercokolnya para pengkhianat itu. Saya ingin mencari kata yang lebih sopan dari itu tapi susah kiranya mencari padanan kata bagus untuk orang yang melalaikan amanah.

Bagaimana tidak hampir setiap hari kita melihat tingkah polah sebagian anggota dewan yang mempertontonkan "episode romantis" sebuah perselingkuhan, pengkhianatan terhadap keluarga. Inilah kisah paling klasik pada ranah kekuasaan dari jaman nabi Adam hingga Julio Cesar, dan sekarang masih dapat diperankan dengan baik oleh sebagian anggota dewan. Pada drama yang lain "episode dagang sapi" diperankan secara apik dan menjiwai oleh sebagian anggota dewan lain. Dalam episode ini maka sepertinya para ahli negosiator ulung lulusan Amerikapun tak berkutik. Ya tak ada teknik negosiaisi dan diplomasi, yang penting ada uang negosiasi jalan terus. " Lo jual gua beli".

Layaknya peragaan busana mereka melenggang diatas catwalk memeragakan koleksi "busana" rancangan mereka sendiri. Rancangan tentang kebusukan mereka sendiri. Tapi kali ini mereka benar-benar "telanjang", tanpa busana apapun karena jelas terlihat di mata kita. Parahnya peragaannya ini terjadi setiap saat, tak musim panas, dingin, semi untuk membuat rancangan koleksinya.

Rakyat adalah penikmat ulung,.penikmat kesulitan hidup akibat "harga kebutuhan hidup" tak terjangkau, penikmat kezaliman para pemimpinnya yang mengkhianati amanah..ya hanya penikmat saja?.. Saya kira bukan, rakyat adalah pemegang "saham" terbesar negeri, rakyat memiliki kuasa menentukan arah bangsa ini, filosofi demokrasi. Rakyat maling melahirkan pemimpin maling..

Saya tidak menyudutkan demokrasi dalam hal ini, tapi ini hanyalah sebuah refleksi tentang pentingnya pembelajaran dalam demokrasi. Kita harus belajar dari sejarah, pilihan yang bijak akan melahirkan pemimpin bijak..Darimana pilihan bijak akan muncul, dari anda para pemegang saham negara ini..Dan kita bisa membodohi sebagian umat sepanjang masa, kita juga bisa membodohi seluruh umat pada sebagian masa tapi kita tidak bisa membodohi seluruh umat, sepanjang masa...

Kepada merekakah kita menyerahkan "hidup" kita di negeri ini..Tentu tidak bukan..

Selasa, 01 Juli 2008

Homo ekonomicus

by siswanto ariadi

Seperti dalam politik yang ditulis Plato mengenai manusia. Bahwa menurut Plato manusia adalah “binatang politik”, dimana menurut Plato bahwa manusia mempunyai insting untuk mencapai tujuan politik menggunakan naluri kehewanan. Yaitu siapa yang kuat maka dia yang akan mampu menjadi pemenang. Sya mengutip Darwin dalam teori evolusinya yaitu Survival Of The Fittest; yang kuat yang akan bertahan.

Sistem ekonomi sekarang ini mengingatkan saya bahwa manusia pun akan menjadi “binatang ekonomi” yaitu dengan melipatgandakan keuntungan, menghapus batas2 negara, ekonomi tanpa campur tangan negara, pasar domestic yang terintegrasi dengan pasar internasional tanpa ada proteksi negara. Lalu lintas barang, jasa, modal, adalah bebas tanpa restriksi. Diupayakan subsidi tidak ada, bea masuk 0 %, dan semuanya adalah pasar yang menentukan.

Kemudian apakah yang akan terjadi kemudian? Peradaban dan budaya manusia merupakan bentuk dari sejarah yang terjadi di sekitarnya. Ekonomi semacam ini mengakibatkan kompetisi, mutu, harga murah, pelayanan excellent menjadi semacam paradigma individu setiap manusia yang ingin bertahan dalam kondisi semacam ini. Dari paradigma akan menjadi ideology atau falsafah hidup masyarakat.

Kompetisi dalam skala pencari kerja menciptakan persaingan dalam memperebutkan pekerjaan. Maka suplay dan demand akan memainkan peranan dalam menyeimbangkan kebutuhan. Mekanisasi dan teknologi akan mengakibatkan penggunaan tenaga manusia menjadi minimal. Dampak negatifnya adalah tercipta sebuah system ketenagakerjaan yang menjadikan pekerja sebagai objek. Sehingga terciptalah system outscourcing yang dalam sisi ketenagakerjaan sangat tidak manusiawi. Sistem ini menciptakan kondisi bahwa manusia pun merupakan objek ekonomi shg bisa diperjualbelikan jasa dan tenaganya, tanpa ada jaminan social, sewaktu-waktu bisa akan kehilangan pekerjaan jika perusahaan pemakai tidak cocok.

Persaingan akan menimbulkan harga murah (baik barang, jasa, tenaga kerja), dan itu suatu keniscayaan. Barang murah akan mengakibatkan produksi harus dikerjakan secara masal, sehingga ini bisa berdampak pada skala usaha yang kecil jika tidak bisa bersaing dalam harga maka dipastikan akan gulung tikar. Hal ini terjadi pada perusahaan tekstil, pakaian, dan sejenisnya. Produk ini dihantam oleh harga murah produk sejenis yang dikerjakan secara massal. Akibatnya pasti kalah bersaing. Karena mekanisme pasar yang menentukan, maka siapa yang kuat dia yang menang.

Budaya ekonomi yang demikian pasti akan merubah pola pikir seseorang. Manusia akan menjadi lebih ganas dan buas dalam kebutuhan2 ekonominya.. Karena zaman menuntut demikian.Apakah ini sesuatu yang salah?? Menurut saya tidak, karena kita tidak mungkin tinggal di Mars?? Dan mengasingkan diri di hutan???

Trus apakah system ekonominya harus dirubah? Harus!!! Dengan system ekonomi yang memanusiakan manusia tentunya.